Menjadi guru di era digital saat ini menjadi tantangan bagi semua pendidik di berbagai belahan dunia. Guru-guru yang tumbuh bersama perkembangan komputer dari Pentium ke Core berhadapan dengan siswa yang sejak di dalam kandungan sudah akrab dengan teknologi. Mereka melakukan tap dan swipe semudah berkedip. Sebagai guru kita tidak mungkin hanya sebagai followers ketika siswa-siswa kita kelak mungkin adalah para inventer.
Ketika pandemi terjadi pembelajaran serentak dilaksanakan dengan metode dalam jaringan. Sebagai guru TIK/Informatika saya mungkin familiar dengan berbagai aplikasi meeting dan virtual class, namun tidak dengan siswa saya. Ada 12 rombel yang harus saya ajar 2 jam setiap minggunya terdiri dari 2 rombel kelas 7 dan 10 rombel kelas kelas 8. Masalahnya siswa kelas 8 sejak awal tahun pelajaran sudah langsung belajar daring dan di kelas 7 diajar oleh guru lain. Jadi saya tidak punya bayangan seperti apa kemampuan mereka. Sedangkan kelas 7 baru saja peralihan dari SD ke SMP tentu tantangannya lebih besar lagi. Bukan hanya tentang kemampuan dasar mereka menggunakan perangkat yang masih rendah mereka juga belum tahu seperti apa pembelajaran di SMP. Angan-angan mengajar daring sama menyenangkan dengan luring pupus sudah.
Saya mendengarkan keluhan dari rekan-rekan guru yang kesulitan beralih ke mode daring karena harus berkomunikasi dengan siswa via aplikasi dan menyiapkan materi dalam bentuk digital. Respon orang tua yang beragam dan juga curhatan anak-anak yang kesulitan memahami dan mengakses materi pelajaran. Kepala sekolah mengumpulkan para wakabid dan juga guru-guru TIK/Informatika untuk melakukan rapat cepata dan terbatas. Karena minggu depan pembelajaran daring harus segera dimulai apa pun keadaannya. Alih-alih menggunakan LMS pilihan kami adalah mengajar via WAG. Karena aplikasi perpesanan inilah yang dominan digunakan sehari-hari baik oleh siswa dan guru. Para guru senior pun tidak mengalami kesulitan dalam menggunakan aplikasi WhatsApp. Setiap wali kelas membuat grup kelas dan mengundang guru mata pelajaran yang mengajar di kelas tersebut. Semudah itu kami kira, setelah itu mereka tinggal mengajar sesuai jadwal. Kenyataannya di minggu pertama banyak sekali yang salah jadwal. Ada juga rekan guru yang tidak sengaja mengeluarkan (remove) guru lain yang ada di grup. Bahkan ada guru yang rajin sekali mengunci grup kelas setiap selesi mengajar hingga guru yang mengajar di jam berikutnya menunggu bermenit-menit balasan dari siswa yang ta kunjung tiba. Meskipun guru tersebut diberikan akses admin nayatnya dia tidak tahu bagaimana caranya membuka grup. Lalu akhirnya marah-marah karena tidak direspon siswa. Sering juga guru yang mengajar di kelas A tahu-tahu mengirim tugas ke kelas B. Kejadian-kejadian yang membuat kami tertawa bersama. Namun dari semua itu satu yang tidak berubah para guru tetaplah para pembelajar sepanjang hayat yang tidak pernah takut belajar hal baru meski usia tak lagi muda. Namun semangatnya tetap menggelora untuk memberikan yang terbaik bagi siswa-siswinya.
Ada yang bilang menjadi guru itu membuat awet muda. Pernyataan ini mungkin ada benarnya karena para guru tetap menjadi guru sedang siswanya bertumbuh menjadi siswa, mahasiswa kemudian menjadi manusia dewasa dengan berbagai profesi. Sejatinya guru adalah artis yang sebenarnya dengan jadwal stripping 8 jam per hari selama 5 hari dalam satu minggu yang mungkin akan berlangsung sepanjang karirnya. Skenarionya adalah silabus dan RPP. Jangan tanya berapa kali kami melakukan improvisasi dalam mengajar. Belum lagi harus melakukan evaluasi dan analisis terhadap hasil pembelajaran yang dilakukan. Karena setiap kelas dan setiap siswa yang diajar memiliki kemampuan dan karakter berbeda. Guru harus pintar menyiasati agar materi pelajaran bisa diserap oleh siswanya. Dan yang paling penting pembelajaran bisa berlangsung menyenangkan.
Agar pembelajaran menyenangkan dapat terlaksana guru harus senang mengajar dan belajar. Dalam hal mengajar seorang guru telah berbekal 4 kompetensi wajib yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Penguasaan keempat kompetensi ini berperan penting mendukung guru dalam melaksanakan tugasnya. Dengan menjadi guru kita harus siap belajar kapan saja. Semakin guru memperbanyak ilmu maka guru akan lebih bijak dalam menghadapi siswanya.
Siswa saat ini tidak sama dengan zaman kita menjadi anak sekolahan dulu. Siswa sekarang lebih cepat menguasai teknologi. Di tangan mereka teknologi hanyalah sebuah pembiasaan yang mereka hadapi sehari-hari. Sedangkan bagi kita teknologi merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk dikuasai. Dengan segala kemajuan teknologi tersebut sebagai guru penting bagi kita untuk berkarya. Bukan untuk terkenal apalagi pamer. Tetapi untuk memberikan motivasi kepada siswa-siswa kita bahwa yang tua saja bisa berkarya orang muda apalagi.
Posting Komentar untuk "Muda Berkarya Tua Berjaya"