Miskonsepsi Belajar dan Konsep Tujuan Pendidikan
Miskonsepsi adalah kesalahan dalam memahami konsep atau pemahamn terhadap konsep yang tidak sesuai dengan kesepakatan para ahli. Miskonsepsi bisa terjadi dalam berbagai bentuk seperti kesalahan konsep awal, kesalahan dalam menghubungkan berbagai konsep dan gagasan yang salah. Hal ini tentu saja harus mendapatkan perhatian karena bisa fatal akibatnya jika dibiarkan begitu saja. Dalam mengajar seringkali kita terjebak dengan target akhir yaitu menyelesaikan materi dan mendapatkan nilai sempurna bagi murid. Pemahaman ini juga sering diamini para orang tua, mereka lebih fokus untuk mereview hasil belajar ketimbang mencari proses apa yang dilalui anak-anak untuk mendapatkan hasil belajar yang diinginkan. Padahal ada tujuan jangka panjang dari proses pendidikan yaitu meyiapkan anak menghadapi tantangan kehipuan di masa yang akan datang.
Arti Belajar
Jika diminta mendefinisikan arti belajar tentu yang melekat di benak kita adalah kegiatan membaca buku pelajaran, mengerjakan soal dan berdiskusi tentang materi tertentu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,secara etimologis belajar artinya “berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu”. Menurut Oemar Hamalik (2004:27) belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Sedangkan menurut Kingsley dan Garry (1957) mendefinisikan belajar sebagai sebuah proses dimana perilaku diatur atau diubah melalui latihan atau pelatihan. Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa belajar bisa didapatkan dari latihan atau praktik hasilnya berupa ilmu , perubahan tingkah laku dan pengalaman baru yang bisa memperkuat pengetahuan sebelumnya.
Miskonsepsi Belajar
Miskonsepsi belajar merupakan kesalahan dalam memahami tujuan belajar yang sesungguhnya. Miskonsepsi belajar dianggap bertentangan dengan konsep merdeka belajar. Beberapa perilaku miskonsepsi dalam belajar seperti berikut ini :
1. Belajar hanya untuk ujian
Jika belajar hanya berorientasi untuk ujian maka yang dipelajari adalah bagaimana cara cepat mengerjakan soal dengan benar. Padahal siswa itu butuh menalar untuk memahami suatu konsep. Sehingga apa yang dipelajarinya melekat dan bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Sebagian siswa menganggap belajar hanya diperlukan menjelang ujian. Jika tidak ada ujian maka tidak perlu belajar. Saat akan ada ujian siswa semacam ini memandang terlalu banyak materi yang harus dipelajari. Akhirnya mereka hanya bisa memahami sedikit saja dari semua materi yang akan diujikan. Karena sulit menyelesaikan sekian materi dalam waktu singkat.
2. Belajar itu menghafal dan menggunakan rumus
Ada berbagai metode dalam belajar seperti merangkum pelajaran, berdiskusi, latihan, praktik dan juga menghafal. Dalam beberapa kasus menghafal bisa jadi hal penting yang tidak bisa ditinggalkan. Untuk dapat mengaplikasikan suatu ilmu tentu saja kita harus ingat dengan benar bagaimana konsepnya. Namun menghafal saja tanpa memahami apa yang dimaksud bisa menyulitkan ketika masalah disajikan dalam bentuk berbeda atau memerlukan penalaran untuk menyelesaikannya. Rumus yang digunakan mungkin saja sama, tapi jika tidak paham konsep masalah akan sulit dipecahkan.
3. Kendali belajar ada pada guru
Umumnya guru mempunyai wewenang seluruhnya untuk mengatur strategi, asesmen dan aktivitas belajar lainnya. Sehingga pembelajaran berpusat pada guru sebagai sumber informasi. Padahal siswa juga memiliki peran dalam proses pembelajaran, karena itu belajar hendaknya melibatkan siswa dalam prosesnya.
4. Keberhasilan belajar ditandai dengan nilai angka terstandar
Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa keberhasilan siswa dalam belajar dilihat dari nilai akhir. Capaian belajar hanya dilihat dari angka yang sudah ditetapkan standarnya. Kenyataannya keberhasilan seseorang di masa depan tidak ditentukan oleh angka pada nilai akademiknya. Banyak siswa terjebak dengan target angka sehingga tujuan belajar bergeser yang tadinya untuk mengerti dan memahami suatu konsep berubah menjadi bagaimana mendapatkan nilai tinggi.
5. Siswa mempunyai kebutuhan dan minat belajar yang sama
Kurikulum sudah distandarkan untuk jenjang pendidikan tertentu. Gari besar pokok materi pelajaran tertuang dengan jelas. Pendapat yang menyebutkan bahwa siswa mempunyai kebutuhan dan minat belajar yang sama tidak sepenuhnya benar. Meskipun kurikulum diatur standar bukan berarti harus diterapkan sama persis. Karena perbedaan kondisi, lingkungan, kompetensi guru dan siswa juga harus dipertimbangkan. Murid perlu mendapatkan pengalaman belajar yang berbeda sesuai minat, cara belajar dan ketersedian sumber belajar. Bagaimana guru dapat mewujudkan hal tersebut dalam sebuah kelas dengan karakter siswa yang berbeda? merdeka belajar dianggap sebagai solusinya. Guru yang merdeka dalam belajar akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya sehingga dapat menerapkan merdeka belajar bagi siswanya.
6. Penilaian belajar sepenuhnya wewenang guru
Penilaian merupakan rangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar siswa. Penilaian dilakukan secara berkesinambungan dalam jangka waktu yang sudah ditentukan, misalnya satu tahun yang terdiri dari dua semester. Materi tentang penilaian bisa dibaca di artikel berjudul Penilaian Harian : Tujuan dan Teknik. Penilaian belajar sepenuhnya menjadi wewenang guru seolah-olah guru adalah penentu nasib siswanya. Padahal tidak menutup kemungkinan penilaian dilakukan dengan melibatkan siswa. Karena siswa pun perlu melakukan penilaian pada apa yang dia lihat dan pahami. Contohnya dalam penilaian rekan sejawat dimana siswa diberikan kesempatan untuk menilai temannya. Hal ini dipercaya dapat membangun interaksi yang lebih baik antar siswa satu dengan siswa lainnya dan dengan guru. Penilaian rekan sejawat juga dapat membangun motivasi siswa untuk mejadi lebih baik.
Pandangan umum belajar itu sudah pasti disekolah. Sejatinya belajar bisa dilakukan dimana saja. Dari lingkunga terdekatnya yaitu keluarga siswa juga dapat belajar tentang banyak hal salah satunya bagaima cara menghormati orang yang lebih tua dan mengenal hak dan kewajiban sebagai anggota keluarga yang bisa diterapkan dalam lingkungan yang lebih luas.
Miskonsepsi dan Konsep Tujuan Pendidikan dalam Konsep Merdeka Belajar
Berdasarkan gambar diatas beberapa hal yang dapat kita simpulkan antara lain :
1. Belajar tidak lagi berfokus untuk menghadapi ujian tetapi lebih dimaksudkan sebagai bekal untuk menghadapi kesiapan hidup di masa depan. Saat siswa terjun di masyarakat dia bisa menerapkan ilmu yang sudah dipelajarinya di bangku sekolah.
2. Pencapaian belajar hendaknya tidak diukur dengan angka tapi pencapaian kompetensi yang dikuasai setiap siswa.
3. Ujian standar diarahkan ke ujian yang lebih bermakna dan meninggalkan kesan bagi siswa.
4. Belajar dengan cara menghafal akan lebih berkualitas jika dilengkapi dengan menalar. Sehingga apa pun bentuk soalnya ketika siswa bisa menalar dengan baik dia akan dapat menyelesaikannya.
5. Konsep kepatuhan terhadap segala hal diubah menjadi kemandirian. Jika patuh harus dilakukan dengan suka ataupun tidak suka. Namun kemandirian mengajak siswa untuk sadar akan kewajibannya tanpa paksaan.
Kedepan dengan menerapkan merdeka belajar baik untuk guru maupun siswa diharapkan pendidikan yang memerdekakan dapat terwujud.
Refferensi :
https://media.neliti.com/media/publications/279470-miskonsepsi-siswa-pada-pembelajaran-ipa-dee20e35.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/74008-ID-sistem-penilaian-dalam-pembelajaran.pdf
#GuruMerdekaBelajar
#merdekabelajar
Posting Komentar untuk "Miskonsepsi Belajar dan Konsep Tujuan Pendidikan"